Pajak Pertambahan Nilai : Perbedaan PPN dengan PPn

  Mekanisme Pemungutan Pajak Penjualan (PPn) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)



        Pajak adalah salah satu sumber penerimaan negara untuk tujuan pembangunan. Berbagai jenis pajak dapat dikenakan oleh suatu negara dengan berbagai macam nama dan cara pemungutan. Boleh jadi tiap-tiap negara mempunyai kebijakan yang berbeda-beda dalam melakukan pemajakan, namun satu hal yang pasti bahwa pada akhirnya pajak tersebut pada dasarnya akan membebani penghasilan seseorang.


        Pajak Penjualan (PPn) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi barang atau jasa. Pajak konsumsi merupakan jenis pajak yang tujuannya adalah membebani penghasilan seseorang pada waktu penghasilan tersebut dibelanjakan atau digunakan untuk konsumsi. Perbedaan  pajak atas konsumsi dengan pajak penghasilan adalah pajak penghasilan adalah pajak penghasilan membebani penghasilan ketika penghasilan tersebut diperoleh. Sedangkan pajak atas konsumsi dikenakan atas belanja barang dan/atau jasa. Dasar pemajakan atas konsumsi adalah pengeluaran uang untuk konsumsi barang dan/atau jasa tersebut.


        Ada dua bentuk pajak konsumsi yang populer dianut dalam sistem perpajakan negara-negara di dunia, yaitu pajak penjualan/PPn  (Sales Tax) dan pajak pertambahan nilai/PPN (Value Added Tax).


1. Pajak Penjualan/PPn (Sales Tax)

        Pajak penjualan merupakan pajak atas konsumsi yang mekanisme pengenaannya secara tidak langsung. PPn dikenakan atas penjualan barang atau jasa tertentu yang ditentukan undang-undang. Pemungutan PPn dilakukan oleh penjual ketika melakukan penjualan barang atau jasa kepada konsumen. Konsumen akan membayar sebesar harga barang ditambah dengan pajak (PPn). Selanjutnya PPn yang dipungut tersebut disetorkan penjual ke kas negara.

        Pengenaan PPn dapat dilakukan satu tingkat (single stage levy) maupun beberapa tingkatan (multi stage levy). Dalam single stage levy PPn dikenakan satu kali saja ditingkat produsen, distributor ataupun pengecer. Sedangkan dalam multi stage levy PPn dapat dikenakan dibeberapa tingkatan, bahkan semua tingkatan baik ditingkat produsen, distributor ataupun pengecer. 

        Untuk memberikan gambaran mekanisme pengenaan PPn dapat disimak ilustrasi berikut ini. Ahmad seorang produsen menjual barang kepada distributor Budi dengan harga jual Rp10.000.000. Oleh Budi barang tersebut dijual kepada pengecer Cinta dengan harga jual Rp15.000.000. Selanjutnya oleh Cinta barang tersebut dijual ke konsumen Dedi dengan harga jual Rp20.000.000. Kita pakai tarif PPn 10%.

        Dalam kasus ini ketika Ahmad menjual barang ke Budi maka Ahmad memungut PPn sebesar Rp1.000.000, dengan demikian Budi harus membayar kepada si Ahmad sebesar Rp11.000.000. Selanjutnya Ahmadd harus menyetor PPn yang dipungutnya sebesar Rp1.000.000 ke kas negara. Ketika Budi menjual barang ke Cinta maka Cinta akan dipungut PPn sebesar Rp1.500.000, dengan demikian Cinta harus membayar kepada Budi sebesar Rp16.500.000. Selanjutnya Budi harus menyetor PPn yang dipungutnya sebesar Rp1.500.000 ke kas negara. Ketika Cinta menjua barang ke Dedi maka Cinta juga akan memungut PPn sebesar Rp2.000.000, dengan demikian Dedi harus membayar sebesar Rp22.000.000 kepada Cinta. Selanjutnya Cinta harus menyetor PPn yang dipungutnya sebesar Rp2.000.000 ke kas negara.


Gambar 1. Mekanisme Pajak Penjualan


        Mekanisme PPn ini mengandung beberapa kelemahan, yaitu :

    a. PPn yang dibayar oleh pembeli diperlakukan sebagai beban/biaya (expense) sehingga ketika pembeli menjual kembali lagi barang tersebut kepada pihak lain, PPn yang telah dibayar akan dimasukkan dalam komponen harga pokok penjualan. Harga pokok ditambah keuntungan didapatkan harga jual. Harga jual kemudian dikenakan PPn. Artinya, ketika dijual ke pihak lain dalam harga jual terdapat unsur PPn yang kemudian dikenakan PPn lagi. Kondisi ini diistilahkan dengan cash cadding effect. 

Dalam kondisi kasus diatas PPn yang dibayar oleh distributor Budi sebesar Rp1.000.000 dimasukkan dalam komponen harga pokok penjualan. Dengan asumsi laba yang diharapkan oleh Budi sebesar Rp4.000.000 maka harga jual barang tersebut menjadi Rp15.000.000 (terdiri dari harga beli  barang Rp10.000.000 ditambah PPn pembelian Rp1.000.000 ditambah laba Rp4.000.000). Dengan demikian kketika harga jual dikenakan PPn sebesar Rp1.500.000 terdapat PPn dalam komponen harga pokok penjualan yang dikenakan PPn lagi. Kondisi kembali berulang ketika barang dijual oleh pengecer Cinta. 

    b. Semakin panjang rantai distribusi maka pajak yang disetor ke kas negara akan semakin besar. Kondisi ini menimbulkan situasi yang tidak netral antara usaha dengan rantai distribusi yang panjang dan rantai distribusi yang pendek. Dalam kasus diatas PPn yang didapat oleh negara sebesar Rp4.500.000 (Rp1.000.000 + Rp1.500.000 + Rp2.000.000)


2. Pajak Pertambahan Nilai/PPN (Value Added Tax)

       Pajak pertambahan nilai merupakan pajak atas konsumsi yang mekanisme pengenaannya secara tidak langsung. PPN pada prinsipnya bukan memajaki penjualan tapi memajaki nilai tambah (value added).

        Pemungutan PPN dilakukan secara tidak langsung, yaitu melalui penjual yang melakukan penyerahan barang kena pajak atau jasa kena pajak kepada pembeli. Ketika pembeli membeli barang kena pajak atau jasa kena pajak, pembeli harus membayar PPN yang dipungut melalui penjual, sehingga pengusaha kena pajak tersebut harus membayar sebesar harga barang ditambah PPN. Sebagai bukti pemungutan PPN pihak penjual akan menerbitkan faktur pajak. Bagi pengusaha kena pajak selaku pembeli, faktur pajak tersebut dianggap sebagai pajak masukan (VAT In), yang merupakan uang muka pajak bagi pengusaha kena pajak selaku pembeli. Selanjutnya ketika pengusaha kena pajak menjual kembali (melakukan penyerahan) barang kena pajak atau jasa kena pajak dia berkewajiban memungut PPN dengan kewajiban menerbitkan faktur pajak. Bagi pengusaha kena pajak selaku penjual faktur pajak yang diterbitkan tersebut dianggap sebagai pajak keluaran (VAT Out) yang siatnya adalah sebagai hutang pajak. Apabila pajak keluaran lebih besar dari pajak masukan, maka kelebihan tersebut merupakan kewajiban PPN yang harus disetor ke kas negara.

        Untuk memberikan gambaran mekanisme pengenaan PPN dapat disimak ilustrasi berikut ini.

    Ahmad seorang produsen menjual barang kepada kepada distributor Budi dengan harga jual Rp10.000.000 dengan demikian Budi harus membayar kepada Ahmad sebesar Rp11.000.000. PPN sebesar Rp1.000.000 tersebut bagi Ahmad merupakan pajak keluaran/hutang pajak, sedangkan bagi Budi merupakan pajak masukan/uang muka pajak. Karena Ahmad tidak mempunyai pajak masukan maka jumlah yang harus disetor oleh Ahmad ke kas negara adalah sebesar Rp1.000.000.

        Ketika Budi menjual barang ke Cinta makan Budi akan memungut PPN sebesar Rp1.500.000, dengan demikian Cinta harus membayar kepada Budi sebesar Rp16.500.000. PPN sebesar Rp1.500.000 tersebut bagi Budi merupakan pajak keluaran/hutang pajak sedangkan bagi Cinta merupakan pajak masukan/uang muka pajak. Selanjutnya Budi harus menyetor PPN ke kas negara sebesar Rp500.000 yaitu dari selisih pajak keluaran Rp1.500.000 dengan pajak masukan Rp1.000.000.

        Ketika Cinta menjual barang ke Dedi maka Cinta akan memungut PPN sebesar Rp2.000.000, dengan demikian Dedi harus membayar kepada Cinta sebesar Rp22.000.000. PPN sebesar Rp2.000.000 tersebut bagi Cinta merupakan pajak keluaran/hutang pajak sedangkan bagi Dedi pajak masukan tersebut tidak dapat dikurangkan karena Dedi merupakan konsumen akhir, atau dengan kata lain PPN sebesar Rp2.000.000 sebagai beban bagi Dedi selaku konsumen akhir. Selanjutnya Cinta harus menyetor PPN ke kas negara sebesar Rp500.000 yaitu dari selisih pajak keluaran Rp2.000.000 dengan pajak masukan Rp1.500.000.

                                        Gambar 2. Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai


Ahmad harus setor ke kas negara

                                                         Pajak Keluaran (PK) : 1.000.000

                                                         Pajak Masukan (PM) : 0

                                                         Kurang Bayar            : 1.000.000

Budi harus setor ke kas negara :

                                                         Pajak Keluaran (PK) : 1.500.000

                                                         Pajak Masukan (PM) : 1.000.000

                                                         Kurang Bayar            :    500.000

Cinta harus setor ke kas negara :

                                                         Pajak Keluaran (PK) : 2.000.000

                                                         Pajak Masukan (PM) : 1.500.000

                                                         Kurang Bayar            :    500.000


        Dalam mekanisme PPN, pajak yang dibayar oleh pengusaha kena pajak ketika membeli barang kena pajak atau jasa kena pajak dapat dikurangkan dalam menghitung pajak yang harus disetor ke kas negara (tidak diperlakukan sebagai beban/biaya). Pengusaha kena pajak penjual hanya menyetor PPN ke kas negara atas selisih pajak keluaran dengan pajak masukan saja, artinya hanya dikenakan pajak atas nilai tambahnya (selisih penjualan dan pembelian).

        Dalam gambaran ilustrasi diatas jumlah PPN yang disetor ke kas negara Rp2.000.000 (atau Rp1.000.000 + Rp500.000 + Rp500.000) akan sama dengan PPN yang dibayar oleh konsumen akhir. Dengan demikian tujuan pemajakan atas konsumsi dapat tercapai dengan mekanisme ini. Pajak sejatinya dikenakan kepada konsumen akhir. Produsen, distributor, dan pengecer sejatinya tidak memikul beban pajak, mereka hanya merupakan kepanjangan tangan pemerintah saja dalam melakukkan pemajakan. Dapat pula dikatakan baha sejatinya PPN bukan merupakan pajak atas kegiatan bisnis, karena tujuan pemajakan bukan kepada pelaku usaha tapi kepada konsumen akhir. 


Apabila masih ada yang ditanyakan kirim pertanyaan kalian ke :

gaidhatitihsatu@gmail.com

LihatTutupKomentar